Sabtu, 21 April 2012

ilmu shorof

Shorof : Al-Muqoobalatu (Fa fi-‘il ; ‘Ain fi’il ; dan Lam fi’il)

 Al-muqoobalatu artinya ber-hadap2an atau mencocokkan. Sebagian besar dari fi-’il2 di dalam bahasa arab (Menurut Ilmu Shorof) asalnya tiga huruf. Seperti ma-na-‘a ; ka-ta-ba dll.
Contoh :
Ma-na-‘a dikatakan atas timbangan Fa-‘a-la (kiyas dari wazan Fa-‘a-la).
Jadinya begini ; Fa-‘a-la = Ma-na-‘a.
فَعَلَ = مَنَعَ
Oleh sebab Mim berhadapan atau berbetulan dengan fa dari fa-‘a-la, maka dikatakan Fa fi-‘il. Dan Nun itu oleh sebab berhadapan dengan ‘ain dari fa-‘a-la, maka dikatakan ‘Ain fi-‘il, dan ‘Ain itu lantaran berbetulan dengan lam dari fa-‘a-la, maka dikatakan Lam fi-‘il. Begitulah sekalian fi-‘il yang asalnya tiga huruf, yakni tiap2 fi-‘il yang asalnya tiga huruf itu, huruf yang pertama dikatakan fa fi-‘il, walaupun bukan fa. Dan yang kedua dinamakan ‘ain fi-‘il, walaupun bukan ‘ain. Dan yang ketiga disebut lam fi-‘il, walaupun bukan lam.
Kalau fi-‘il itu bertambah hurufnya seperti yam-na-‘u, yam-na-‘uuna atau im-ta-na-‘a umpamanya, maka huruf yang bertambah itu tidak dihitung, tetapi tetap kita berkata mim itu fa fi-‘il, nun itu ‘ain fi-‘il dan ‘ain itu lam fi-‘il. Selain dari itu dinamakan zaidah, yakni huruf tambahan.
Dan terkadang fi-‘il itu asalnya empat huruf seperti da-h-ro-ja atas timbangan fa-’-la-la, maka dal itu dikatakan fa fi‘il, ha itu ‘ain fi’il, serta ro lam fi’il yang pertama, jim itu lam fi’il yang kedua.
Kalau bertambah seperti mu-da-h-ri-jun atau mu-ta-da-h-ri-ja-tun, maka tambahan itu tidak dihitung, yakni tetap dikatakan dal itu fa fi-‘il ; ha itu ‘ain fi-‘il ; ro itu lam fi-‘il pertama dan jim itu lam fi-‘il yang kedua. Selain dari itu dikatakan huruf zaidah (tambahan).
Catatan ini mudah2-an berguna mengingatkan diri penulis sendiri yang lupa, atau belum berkesempatan memahami istilah yang digunakan tatkala melihat perubahan2 kalimah ke bentuk lain menurut wazannya – serta mauzunnya. Secara filosofis hal ini sangat penting ditegaskan untuk menghalangi (ma-na-’a) kelancangan. Tanpa memahami posisi perubahan2 bangunan kalimah dalam bahasa arab, sulit diterima kemampuan seseorang yang coba menulis (ka-ta-ba), mengutarakan pendapat serta pemahamannya dengan terbuka kepada khalayak (tabligh) tentang Al-qur’anul kariem, sunnah nabi, qoul ulama, dll. yang nota bene tersurat dengan Bahasa Arab tersebut. Lebih baik menghalangi kesalahan, daripada keliru menggunakan ro’yu, atau berupaya sungguh-sungguh memahami fan ilmu alat / shorof  dahulu, karena riskan resikonya apabila menyalahi. Dengan contoh kecil beginilah ‘lidah-lidah’ dan tinta para ulama senantiasa basah laksana nan tak pernah kering berbuat (fa-’a-la), menjaga originalitas atau keotentikan kalamulloh dan sunaturrosul. -Wallohu subhaana wa ta’alaa bil ‘alam- *** (Iqbal1).
 1 Komentar |  Ilmu Nahwu / Sharaf (Alat), Shorof |  Permalink
 Ditulis oleh iqbal1
________________________________________
8. Shorof : Fi’il Tsulatsiy (Mujarrod) Bab kelima
 وَاِنْ كَانَ مَاضِيْهِ عَلَى وَزْنِ فَعُلَ مَضْمُوْمَ الْعَيْنِ فَمُضَارِعُهُ
 يَفْعُلُ بِضَمِّ اْلعَيْنِ نَحْوُ حَسُنَ يَحْسُنُ وَأَخَوَاتِهِ
Jika fi’il madhinya berwazan
 فَعُلَ
Fa-’U-La, yang didhammahkan ‘ain fi’ilnya, maka fi’il mudhari’nya berwazan
 يَفْعُلُ
Yaf-”U-Lu ; dengan dhammah ‘ain fi’ilnya.
contoh :
 حَسُنَ يَحْسُنُ
Ha-Su-Na ; Yah-Su-Nu, dan saudara-saudaranya.

 Ringkasan Fiil Tsulatsi Mujarrod, dari bab 1 s/d 6 : Untuk catatan ilmu shorof ini,  diutarakan tentang fi’il Tsulatsi Mujarrod dan pembagian bab-nya.
Fi’il Tsulatsi Mujarrod adalah fi’il yang terdiri dari hanya tiga huruf asli. Terbagi menjadi enam bab, yaitu ;
1.    Bab I. Fa’ala Yaf’ulu (فَعَلَ يَفْعُلُ). Bab pertama ini biasanya berlaku “muta’addi” seperti نصر زيد عمرا. Tapi terkadang juga berlaku “lazim” seperti خرج زيد. Muta’addi adalah fi’il yang butuh maf’ul, sedangkan lazim adalah fi’il yang tidak butuh maf’ul.
2.    Bab II. Fa’ala Yaf’ilu (فَعَلَ يَفْعِلُ). Bab yang kedua ini sama dengan bab yang pertama yaitu biasanya berlaku “muta’addi” seperti ضرب زيد عمرا. Dan terkadang juga berlaku “lazim” seperti جلس زيد.
3.    Bab III. Fa’ala Yaf’alu (فَعَلَ يَفْعَلُ). Bab yang ketiga ini juga sama dengan bab yang pertama yaitu biasanya berlaku “muta’addi” seperti فتح زيد الباب. Dan terkadang berlaku “lazim” seperti ذهب زيد. Bedanya pada bab ketiga ini, ain fi’il atau lam fi’il-nya harus berupa huruf Halaq, yaitu حاء, خاء, عين, غين, همزة, هاء
4.    Bab IV. Fa’ila Yaf’alu (فَعِلَ يَفْعَلُ). Bab yang keempat ini sama dengan bab-bab sebelumnya, yaitu biasanya berlaku “muta’addi” seperti علم زيد المسئلة. Dan terkadang juga berlaku “lazim” seperti وجل زيد.
5.    Bab V. Fa’ula Yaf’ulu (فَعُلَ يَفْعُلُ). Bab yang kelima ini berbeda dengan bab-bab sebelumnya, karena ia hanya berlaku lazimsaja seperti, حسن زيد
6.    Bab VI. Fa’ila Yaf’ilu (فَعِلَ يَفْعِلُ). Bab yang terakhir, yaitu bab yang keenam biasanya berlaku “muta’addi” seperti حسب زيد عمرا فاضلا. Tapi terkadang juga berlaku “lazim” seperti ورث زيد.   ________________________________________
7.    Shorof : Fi’il Tsulatsi (Mujarrod) Bab keempat

وَإِنْ كَانَ مَاضِيْهِ عَلَى وَزْنِ فَعِلَ مَكْسُوْرَ اْلعَيْنِ فَمُضَارِعُهُ يَفْعَلُ
 بِفَتْحِ اْلعَيْنِ نَحْوُ عَلِمَ يَعْلَمُ إِلاَّ مَا شَذَّ مِنْ نَحْوِ حَسِبَ يَحْسِبُ
 وَأَخَوَاتِهِ.
Jika fi’il madhinya berwazan
 فَعِلَ
Fa-’I-La ; yang di kasrahkan ‘ain fi’ilnya, maka fi’il mudhari’nya berwazan
 يَفْعَلُ
Yaf-’A-Lu dengan fathah ‘ain fi’ilnya.
contoh :
 عَلِمَ يَعْلَمُ
‘A-Li-Ma ; Ya’-La-Mu, kecuali yang syadz dari contoh :
 حَسِبَ يَحْسِبُ
Ha-Si-Ba ; Yah-Sa-Bu, dan saudara-saudaranya.
6. Shorof : Fi’il Tsulatsi (Mujarrod) Bab ketiga

 وَيَجِيْءُ عَلَى وَزْنِ يَفْعَلُ بِفَتْحِ الْعَيْنِ إِذَا كَانَ عَيْنُ فِعْلِهِ أَوْ لاَمُهُ حَرْفاً
 مِنْ حُرُوْفِ الْحَلْقِ وَهِيَ سِتَّةٌ الهَمْزَةُ وَاْلهاَءُ وَاْلعَيْنُ وَاْلحاَءُ وَاْلغَيْنُ
وَاْلخاَءُ نَحْوُ سَأَلَ يَسْأَلُ وَمَنَعَ يَمْنَعُ وَأَبىَ يَأْبىَ شَاذٌّ.
Fi’il Mudhari (Dari Fi’il Madhi Tsulatsi Mujarrad yg ‘Ain fi’ilnya berharakat Fathah) juga datang dengan wazan
يَفْعَلُ
(Yaf-’A-Lu) dg Fathah ‘Ain Fi’ilnya. Ini bilamana ‘Ain Fi’il atau Lam Fi’ilnya berupa huruf dari salahsatu huruf-huruf Halaq. Yaitu :
ء – هـ – ع – ح – غ – خ
(Hamzah, Ha’, ‘Ain, Ha, Ghain, Kha)
contoh :
سَأَلَ يَسْأَلُ
Sa-A-La ; Yas-A-Lu,
 مَنَعَ يَمْنَعُ
Ma-Na-’A ; Yam-Na-’U
sedangkan contoh
 أَبىَ يَأْبىَ
A-Baa ; Ya’-Baa, adalah syadz.

5. Shorof : Fi’il Tsulatsi Mujarrod Bab pertama dan kedua
أَمَّا الثُّلاَثِيُّ الْمُجَرَّدُ : فَإِنْ كَانَ مَا ضِيْهِ عَلَى وَزْنِ فَعَلَ مَفْتُوْحَ الْعَيْنِ
    .فَمُضَارِعُهُ يَفْعُلُ أَوْ يَفْعِلُ بِضَمِّ الْعَيْنِ أَوْ كَسْرِهَا نَحْوُ ;
    نَصَرَ يَنْصُرُ ; وَضَرَبَ يَضْرِبُ
 Adapun fi’il tsulatsi mujarrod : yaitu (Bab 1 / Bab 2) jika pada fi’il madhi-nya berwajan fa-’a-la yang difatahkan ‘ain fi’ilnya, maka pada fi’il mudhari’nya ikut wazan yaf-‘u-lu atau yaf-‘i-lu dengan didhommahkan ‘ain fi’ilnya atau dikasrahkan ‘ain fi’ilnya.
Contoh :
نَصَرَ – يَنْصُرُ
Na-sho-ro (Dia seorang laki2 telah menolong) ; Yan-shu-ru (Dia seorang laki2 akan/sedang menolong), dan
 ضَرَبَ  –  يَضْرِبُ
Dho-ro-ba (Dia seorang laki2 telah memukul) ; yadh-ri-bu (Dia seorang laki2 akan/sedang memukul)
Glossary :
Fiil Tsulatsi Mujarrod = Jenis kata kerja yg berasal dari tiga huruf  dengan tdk menerima tambahan. Merupakan salah satu dari pembagian bentuk fi’il yg terdiri atas beberapa bab.
Fi’il Madhi : Kata kerja yg menunjukan makna yg terjadi pada waktu yg telah lewat. Wazan Tashrifnya ada 14. Binanya ada 6.
Fi’il Mudhore : Kata kerja yg menunjukkan makna waktu yg sedang terjadi (Hal) dan yg akan datang (Mustaqbal). (Akan/sedang). Wazan Tashrifnya ada 14. Binanya ada 12.
Wazan = Timbangan, Ukuran, Cetakan, Acuan, Referensi. Istilah yg dipakai dalam ilmu shorof untuk mengetahui perubahan fungsi dan makna kata seperti pada posisi : Fi’il Madhi, Fi’il Mudhore, Masdar, Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Fi’il Amar, Fi’il Nahyi, Isim Makan/Zaman, Isim Alat.


Hikmah : Tawadhu, Rahasia Al-fiyah Bet 5, 6, 7.
  بسـم الله الرحمن الرحيم
Bait 5 :
وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ  #  فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
Maka ia menuntut keridhoan tanpa kemarahan (ketekunan dan kesabaran dalam mempelajarinya) # Ia telah mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibnu Mu’thi (Imam Abu Zakariya Yahya putra Imam Mu’thie).
 Qouluhu wa taqtadhie : Dalam bait 5 muqoddimah ini, Kyai Mushonnif  Syeikh Al-’alamah Imam Ibnu Malik menyampaikan pesan  khusus muatan kitab al-fiyahnya. Ia menuntut kepada keridloan ; dari Alloh SWT, pengarang dan dari yang mempelajarinya. Tekun dan sabar mempelajarinya dengan tidak disertai amarah. Alfiyah ini gaya bahasanya tidaklah sulit, mudah dicerna. Mampu mendekatkan pengertian yang jauh dalam ilmu nahwu dengan ungkapan yang ringkas. Kepadatan materinya dapat menjabarkan pengertian yang luas. Juga menyampaikan iklan bahwa karangan Al-fiyah kami (Kata Kyai Mushonif), sudah mencakup dan lebih unggul daripada alfiyah karangan Imam Ibnu Mu’thie.
Qouluhu Faiqotan : Bait ini disebutnya ‘Mutahharok’, -rubah ujung-, sebab asal lengkapnya, ‘faa ieqotan minha bi alfi baeti’.
Diceritakan bahwa setelah Kyai Mushonif selesai mengarang bait ini, mendadak semua karangan Al-fiyahnya hilang dari ingatan, mendadak menjadi lupa. Syahdan sampai 2 tahun lamanya, serta Kyai Mushonif sempat tidak sadarkan diri.
Dalam tidak sadarkan diri, syahdan Kyai Mushonif bermimpi jumpa dengan seseorang yang sudah sepuh. Kemudian orang tsb mengajukan pertanyaan kepada Kyai Mushonif :
“Bukankah engkau mengarang Al-fiyah, sudah sampai dimana ?”. Lantas orang tsb memberikan bait berikut,
“Wal hayyu qod yaghlibu alfa mayyiti”. (Dan adapun seorang yang hidup, terkadang dapat mengalahkan seribu orang yang telah meninggal).
Adapun orang yang dijumpai dalam mimpi tersebut tiada lain adalah Syaikh Al-’alamah Imam Abu Zakariya Yahya ibnu Imam Mu’thie, ulama yang telah terlebih dahulu mengarang alfiyah.
Setelah bermimpi seperti itu, Syeikh Ibnu Malik terbangun, dan dapat mengingat kembali karangan Al-fiyahnya seperti sedia kala. Lantas Ibnu Malik introspeksi dan memohon permintaan maaf  atas kemasgulan karangannya serta kekhilafannya, kurang tawadhu dan telah su’ul adab kepada Imam Ibnu Mu’thie dengan menyampaikan bait 6 berikut :
Bait 6 :
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً  #  مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
Dan sebab lebih dulu sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan # dan  mewajibkan sanjungan indahku (untuknya).
Yang maksudnya, jadi karena Syeikh Ibnu Mu’thie sudah terlebih dahulu dalam zamannya, maka lebih utama mendapat  keunggulan, serta layak jika Ibnu Malik mengakui dan memberikan sanjungan keutamaan kepada kitab karangan Ibnu Mu’thie serta pribadinya. Adapun Ibnu Mu’thie, lahir tahun 564 H, wafat tahun 628 H (Berusia 64 tahun).
Sebagaimana ada ungkapan bahwa ; “Al-fadhlu lil mutaqoddimiena”. (Adapun keutamaan itu, tetap kepada rupa2 orang yang terdahulu). Seperti Imam dengan Ma’mum, Mubtada dengan Khobar, Jar dengan Majrur, Orang tua dengan Anak, dsb. Lantas Ibnu Malik berdo’a kepada Alloh SWT. dengan bait 7 berikut :
Bait 7 :
وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ #  لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
Semoga Allah menetapkan pemberian-pemberian yang sempurna # untuku dan untuknya didalam derajat-derajat akhirat.
Tanbih : Lafad “Wallohu yaqdhie” umpama menurut ilmu ma’ani termasuk kepada lafad khobar, maknanya du’a. Adapun yang dimaksudnya adalah ; “bi hibbati wafiroh”, yaitu “Tsubuutul iman wal islam” (Tetapnya iman dan islam).
I’lam : Tapi menurut sebagian ulama, bait ini kurang tepat, yang bagusnya adalah : “Wallohu yaqdhie bir-ridlo’a warrohmah # Lie wa lahu wa li jamie-iel ummah”. Wallohu a’lam. *** (Iqbal1).

 3 Komentar |  Ahlak, Ilmu Nahwu / Sharaf (Alat), Nahwu, Shorof |  Permalink
 Ditulis oleh iqbal1
________________________________________
Shorof : Bentuk / Bina Fi’il (Lanjutan Pembagian Fi’il)
Januari 6, 2011
Ref. : http://iqbal1.wordpress.com/2010/10/07/ilmu-shorof-pembagian-fiil/
Dan Bentuk Fi’il terbagi lagi kepada :
1. Bina Salim, artinya bentuk fi’il yg selamat pada asal huruf-hurufnya daripada huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .
2. Bina Ghair Salim, artinya bentuk fi’il yg tidak selamat pada asal huruf-hurufnya daripada huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .

“ وَنَعْنِيْ بِالسَّالِمِ مَا سَلِمَتْ حُرُوْفُهُ اْلاَصْلِيَّةُ الَّتِيْ تُقَابَلُ بِالْفَاءِ وَالْعَيْنِ وَالاَّمِ مِنْ حُرُوْفِ الْعِلَّةِ وَالْهَمْزَةِ وَالـتَّضْعِيْفِ “.
“Dan kami mengartikan tentang Fi’il Salim : adalah kalimat yang huruf-huruf aslinya yang terdiri dari Fa’ Fi’il, ‘Ain Fi’il, dan Lam Fi’il, selamat dari huruf-huruf ‘Illat, Hamzah, dan Tadh’if ” – (Al-Kailanie, Litashriefil-Izzie : 2 – 3).
Contoh Bina Salim, seperti :
نَصَرَ – ضَرَبَ – فَتَحَ
Contoh Ghair Salim, seperti :
مَدَّ – سَأَ لَ  – قَالَ  – رَمَى
*****
Glossary :
Huruf Hamzah, ialah kalimah yang asal huruf-huruf aslinya ada huruf hamzah pada Fa, ‘Ain, dan Lam fi’ilnya (Mahmuz).
Apabila posisi huruf hamzah menempati Fa’ Fi’il, maka dinamakan Bina’ Mahmuz Fa’.
Contoh : أ َمَلَ
Apabila huruf hamzah berada pada ‘Ain Fi’il, dinamakan Bina’ Mahmuz ‘Ain.
Contoh : سَأ َلَ
Apabila huruf hamzah menempat posisi Lam Fi’il, maka disebut Bina’ Mahmuz Lam.
Contoh : قَر َأَ
Huruf ‘Illat, artinya sebab atau penyakit. Dinamakan demikian lantaran huruf2 ilat itu sering jadi sebab buat memanjangkan lain huruf. Dan juga sering dibuang dari satu kalimat lantaran tidak perlu sebagaimana dibuangnya sesuatu yg berpenyakit. Hurup ‘Illat ; ialah  Ya, Wawu, dan Alif.
Huruf Tadh’if, ialah huruf-huruf kembar/ganda/dobel (Fi’il Dobel) yang beridghom seperti Farro, ‘Adda, dsb. Idghom itu artinya memasukkan satu huruf kepada satu huruf seperti Faroro dijadikan Farro. Bentuk fi’il ini bisa merupakan fi’il Goer Salim, karena huruf asalnya tidak sebanding dg fa, ain dan lam pada wazan fa-a-la.
•    Maksud tadh’if  disini adalah jika pada Fi’il Tsulatsiy, yaitu jika ‘ain fi’il dan lam fi’ilnya terdiri dari huruf yang sejenis. Misalnya “Ro-d-da” :
  رَدَّ
•    Dan maksud tadh’if dari Fi’il Ruba’iy, yaitu jika fa’ fi’il dan lam fi’il pertama sejenis. Juga ‘ain fi’il dan lam fi’il kedua sejenis. Misalnnya “Za-l-za-la”, “Sa-l-sa-la” :
 زَلْزَلَ  -  سَلْسَلَ
Tadh’if, mujarodnya dho’afa, artinya lemah. Setelah didobel / ditambah, artinya jadi melemahkan. Wallohu a’lam. (***)
 2 Komentar |  Ilmu Nahwu / Sharaf (Alat), Shorof |  Permalink
 Ditulis oleh iqbal1
________________________________________
Ilmu Shorof : Kitab Amtsilatu Tashrifiyyah
November 9, 2010
 Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah (Karya KH. M. Ma’shum bin Ali)
Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal bagi para pelajar. Hampir di seluruh lembaga pendidikan Islam baik di Indonesia atau pun negara luar, kitab ini menjadi salah satu bidang study yang tetap dikaji. Saking masyhurnya, kitab ini mempunyai julukan “Tasrifan Jombang”.
Keagungan kitab ini tak hanya terletak pada ilmu sharaf. Bila diteliti ternyata memuat makna filosofi tinggi.
Pada contoh fi’il tsulasi mujarrad misalnya, keenam kalimat tersebut memiliki filososfi bahwa “pada awalnya sang santri ditolong oleh orang tuanya (nashara), sesampainya di pesantren ia dipukul/dididik (dlaraba). Kemudian setelah tersakiti, hatinya akan terbuka (fataha). Barulah ia akan pintar (‘alima) dan menuntutnya agar berbuat baik (hasuna). Ia berharap masuk surga di sisi Allah (hasiba).
Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit. Jadi kita tidak akan kesulitan mendapatkannya. Pada halaman pertama tertera sambutan berbahasa arab dari mentri Agama RI (Waktu Itu) , KH. Saifuddin Zuhri, dan di terbitan baru ada pengantar dari Nyai Hj. Abidah Ma’shum, Kwaron.*** (Iqbal1)
 6 Komentar |  Ilmu Nahwu / Sharaf (Alat), Shorof |  Permalink
 Ditulis oleh iqbal1
________________________________________
Ilmu Shorof : Pembagian Fi’il
Oktober 7, 2010
Ref. : http://iqbal1.wordpress.com/2010/10/04/ilmu-shorof-syarah-kailani/
Setelah sebelumnya mendefinisikan kata Tashrif menurut Bahasa dan Istilah. Dilanjutkan mengenai Fi’il dan Pembagian Fi’il. Fi’il (kata kerja) adalah kalimat (Bahasa Indonesia: kata) yang memiliki arti pada dirinya sendiri dan berhubungan dengan waktu, yaitu waktu Maadhi (lampau) Haal (sekarang) dan Istiqbaal (akan datang).
Kailani, 2 :
ثُمَّ الْفِعْلُ اِمَّا ثُلاَثِيٌّ وَاِمَّا رُباَعِيٌّ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا اِمَّا مُجَرَّدٌ أَوْ مَزِيْدٌ فِيْهِ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا إِمَّا سَالِمٌ أَوْ غَيْرُ سَالِمٍ
Kemudian Fi’il itu, satu sisi: ada yang berbangsa tiga huruf (Tsulatsiy), dan pada sisi yang lain: ada yang berbangsa empat huruf (Ruba’iy). Dan masing-masing dari kedua bangsa itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya Mazid. Dan tiap-tiap satu dari semuanya, baik ada yang Salim atau ada yang Ghair Salim.

Keterangan :
(1). Fi’il Tsulatsiy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah tiga. seperti ضَرَبَ dho-ro-ba, arti: memukul.
(2). Fi’il Ruba’iy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah empat. seperti دَحْرَجَ da-kh-ra-ja, arti: menggelincirkan.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa semua Asal huruf-huruf Fi’il itu terfokus hanya kepada dua pembagian Fi’il tsb yaitu Tsulatsiy dan Ruba’iy. Sebagai patokan bahwa tidak ada asal huruf Fi’il itu kurang dari tiga, atau lebih dari empat. Ketetapan ini sudah diakui merupakan pengkajian dari kalam Arab.
» Dan masing-masing dari kedua bangsa itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya Mazid.
(1). Mujarrad, artinya sepi dari tambahan pada asal huruf-hurufnya.
(2). Mazid, artinya ada penambahan pada asal huruf-hurufnya, baik tambahan satu huruf atau lebih, seperti: أَضْرَبَ a-dh-ra-ba arti: mendiami. dan تَدَحْرَجَ ta-da-kh-ra-ja arti: tergelincir.
 » Dan tiap-tiap satu dari semuanya, baik ada yang Salim atau ada yang Ghair Salim.
(1). Salim, artinya selamat pada Asal huruf-hurufnya daripada terdiri dari huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .
Contoh :
 ضَرَبَ – دَحْرَجَ
(2). Ghair Salim, artinya tidak selamat pada asal huruf-hurufnya daripada terdiri dari huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .
Contoh :
 وَعَدَ – زَلْزَلَ 
(Ibnu Toha)
 5 Komentar |  Ilmu Nahwu / Sharaf (Alat), Shorof |  Permalink
 Ditulis oleh iqbal1
________________________________________
Ilmu Shorof : Definisi Tashrif
Oktober 4, 2010

Sharaf atau dibaca Shorof adalah salah satu nama cabang Ilmu dalam pelajaran Bahasa Arab yang khusus membahas tentang perubahan bentuk kata (Bahasa Arab : kalimat). Perubahan bentuk kata ini dalam prakteknya disebut Tashrif.  Oleh karena itu dinamakan Ilmu Sharaf (perubahan ; berubah), karena Ilmu ini khusus mengenai pembahasan Tashrif (pengubahan; mengubah).
Kailani, 1 :
اِعْلَمْ، اَََنَّ التَّصْرِيْفَ فِي اللُّغَةِ: التَّغْيِيْرُ، وَفِي الصَّنَاعَةِ: تَحْوِيْلُ اْلأَصْلِ الْوَاحِدِ إِلَى أَمْثِلَةٍ مُخْتَلِفَةٍ لِمَعَانٍ مَقْصُوْدَةٍ لاَ تَحْصُلُ اِلاَّ بِهَا.
Ketahuilah, bahwasanya yg dinamakan Tashrif menurut Bahasa adalah : pengubahan. Sedangakan menurut Istilah adalah: pengkonversian asal (bentuk) yang satu kepada contoh-contoh (bentuk) yang berbeda-beda, untuk (tujuan menghasilkan) makna-makna yang dimaksud, (yg mana) tidak akan berhasil tujuan makna tersebut kecuali dengan contoh-contoh bentuk yang berbeda-beda itu.
Keterangan :
Asal bentuk kalimat adalah Masdar, ini menurut pendapat Ulama Bashrah. Pendapat ini lebih banyak mendapat dukungan. Sedangkan menurut Ulama Kufah, asal bentuk kalimat adalah Fi’il Madhi.
Asal bentuk adalah Masdar, dikonversikan ke sampel-sampel yang lain misalnya : Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari’, Fi’il Amar, Fi’il Nahi, Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Isim Zaman, Isim Makan, Isim Alat, Isim Murrah, Isim Hai’ah, Isim Nau’, Isim Tafdhil, Shighat Mubalaghah dan lain-lain. Perubahan ke sampel-sampel tersebut, tujuannya untuk menghasilkan makna yang diinginkan, tanpa mengubah ke sampel-sampel  tersebut maka kita tidak akan berhasil mencapai kepada makna yang kita inginkan.
Contoh:
Asal kalimat adalah Masdar : ضَرْبٌ dibaca : Dhorbun, bermakna : Pukulan.
Dirubah ke sampel Fi’il Madhi menjadi : ضَرَب dibaca :  Dhoroba, bermakna: Telah memukul.
Dirubah ke sampel Fi’il Mudhari’ menjadi : يَضْرِبُ dibaca:  Yadhribu bermakna : Akan memukul.
Dirubah ke sampel Fi’il Amar menjadi :  اِضْرِبْ dibaca : Idhrib bermakna :  Pukullah! Dan sebagainya.
Contoh tersebut di atas dikatakan Tashrif, yaitu pengubahan asal bentuk yang satu kepada sampel-sampel bentuk yang lain untuk menghasilkan makna yang dimaksud.  Demikian pembahasan Definisi Tashrif menurut Bahasa dan Istilah. *** (Ibnu Toha).
Ref. – Klik PDF Kitab Kaelani : kailani[1]
 1 Komentar |  Ilmu Nahwu / Sharaf (Alat), Shorof |  Permalink
 Ditulis oleh iqbal1
________________________________________
Profile : Ibnu Malik, dan Kitab Alfiyahnya
September 14, 2009
 Ibnu Malik, nama lengkapnya adalah Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah ibnu Malik al-Thay, lahir di Jayyan. Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah. Pada masa kecil, Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w. 643 H).
Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu. Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.
Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibn Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait.
Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait. Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai Bahar Rojaz ini disusun dengan maksud (1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan shorof yang dianggap penting. (2) menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat , tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan sebuah contoh yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu.(3) membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya. Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam Islam, semua junior harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh, dan menampilkan kreativitas.
Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia ini, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn Malik menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, dan merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat. Tetapi setelah lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan dan dinamislah gerakan karang-mengarang kitab tentang ilmu yang menarik bagi kaum santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari karangan yang paling singkat sampai karangan yang terurai lebar. Maksud penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan dapat diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab nahwu banyak menampilkan metoda baru dan banyak menyajikan trobosan baru, yang memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap menampilkan khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula teori-teori lama yang masih dipakai. Dengan kata lain, mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas yang baru, seolah-olah hidup mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan Shorof, red.). Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-ulama lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap syarah itu.
Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa kreasi baru dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah. Syarah Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibn Malik sendiri, Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an. Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimiy (w.1005 H).
Di antara penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan dalam tulisan ini, adalah Al-Muradi, Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni.
Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.
Ibn Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah . Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H).
Adapun Ibn Aqil (w. 769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa kitab ini adalah Syarah Alfiyah yang paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.
Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya.
Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain : Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah hasyiyah yang disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya didasarkan atas tiga unsur, yaitu (a) Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang mendahului penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni. (b) Karangannya akan mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah faham bagi pembaca. (c) Menyajikan komentar baru yang belum ditampilkan oleh penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai pelengkap catatan bagi orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu dan shorof. ***(Iqbal1. Berbagai Sumber).
 Tinggalkan sebuah Komentar » |  Ilmu Nahwu / Sharaf (Alat), Nahwu, Shorof |  Permalink
 Ditulis oleh iqbal1
________________________________________
Ilmu Nahwu : Filsafat Ilmu Nahwu
Juli 9, 2009
Oleh : H. Muhammad Jamhuri, Lc. MA. *)
 Dalam kitab “Al Kawakib Al Durriyah” diceritakan, Syeikh Imam Al-Sonhaji, pengarang sebuah kitab nahwu, tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu yang ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya : “Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”. Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tersebut tidak luntur. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata : “Juruu Miyaah, juruu miyaah” (mengalirlah wahai air!). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya.
Itulah kitab matan “Al-Jurumiyah” karya Imam Al Sonhaji yang masih dipelajari hingga kini. Sebuah kitab kecil dan ringkas namun padat yang berisi kaidah-kaidah ilmu nahwu dan menjadi kitab rujukan para pelajar pemula dalam mendalami ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab) di berbagai dunia. Selain ringkas, kitab mungil ini juga mudah dihafal oleh para pelajar.
Di sini penulis tidak hendak mengemukakan kaidah ilmu nahwu dengan segala pembagiannya. Yang akan penulis kemukakan adalah, bahwa di dalam kitab yang melulu membahas tata bahasa Arab, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi, ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:
Bersatu Kita Terhormat
Dalam ilmu nahwu, “dhommah” adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’ berarti tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat lain.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi jika kamu beriman (Ali Imran: 139).
Ada beberapa keriteria sehingga orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’(sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’t), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fa’il (aktivis). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan pro aktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: “Dan katakanlah (hai Muhammad) : Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW: “ tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah(peminta)”.
2. Naib fa’il (mewakili tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sahabat Ali ra. Beliau pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan hijrah ke Madinah. Contoh lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di jazirah Arab, namun nasib mereka naas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasul tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh sejarah.
3. Mubtada (pioneer), orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide positif dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan ide (sunnah) tersebut”. Ada pepatah Arab mengatakan demikian:
الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى
“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”
4. Khobar (informasi). Mereka yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya. Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara, termasuk di dalamnya pengalaman.
5, Tawabi’ Marfu’ (Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas, siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman: “Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqoman mahmuda (kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di sisiNya. Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)
Berpecah Belah Adalah Kerendahan
Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala sedang menyantap makanan. Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”. Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.
Dengan penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi mengindahkan kekompakkan dan persatuan di antara sesama ummat Islam.
Di samping itu sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan.
Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf khofad (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan mengikuti huruf jar (faktor yang menyeret-nyeretnya) .
Karena itu, hendaknya ummat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jika ummat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan lain sebagainya.
Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka
Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195). Dalam Kitab Diwan As-Syafi’i. Imam Syafi’i pernah menulis bait syair sebagai berikut:
سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فان لذيذ العيش فى النصب
اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان لم يجري لم يطب
Pergilah bermusafir, maka anda akan dapatkan pengganti orang yang anda tinggalkan ; Bersusah payahlah !, karena kenikmatan hidup ini didapat dengan bersusah payah (nashob).
Sungguh aku menyaksikan mandeg-nya air dapat merusakkan dirinya ; Namun bila ia mengalir ia menjadi baik. Dan jika menggenang ia jadi tidak baik.
Dalam bait syair ini, Imam Syafi’i ingin menegaskan, bahwa orang yang berpangku tangan dan tidak mau bekerja keras akan menjadi rusak, bagaikan rusaknya air yang tergenang sehingga menjadi comberan yang kotor dan bau. Sebaliknya, bila ia mau bersusah payah dan bergerak maka ia bagaikan air jernih yang mengalir. Indahnya kenikmatan hidup ini terletak pada bersusah payah.
Bahkan al-Quran mengisyaratkan kepada kita untuk tidak berpangku tangan di tengah waktu-waktu senggang kita. Bila usai melakukan satu pekerjaan, cepatlah melakukan hal lain. Firman Allah SWT:
فاذا فر غت فا نصب
“Dan jika kamu selesai (melakukan tugas), maka lakukanlah tugas lain (nashob)” (Al Insyiroh: 7).
Kepastian Akan Menimbulkan Rasa Tenang
Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan biasanya akan merasakan kegelisahan. Sebagai contoh seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri, ia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:
ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).
Wallahu’alam
*) H. Muhammad Jamhuri, Lc MA. Adalah Alumni Pondok Pesantren Daarul Rahman Angkatan 11 (th 1990), Kini tinggal di Kota Tangerang dengan amanah sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Asy-Syukriyyah-Tangerang. Makalah ditulis di Makkah Al Mukarramah, Rabu 5 Sya’ban 1421H/1 Nopember 2000 M.
(Sumber : http://ikdar.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=58)
 Tinggalkan sebuah Komentar » |  Ilmu Nahwu / Sharaf (Alat), Nahwu, Shorof, Wacana |  Permalink
 Ditulis oleh iqbal1
________________________________________
Ilmu Nahwu – Sharaf : Kitab Alfiyah Ibnu Malik
Desember 27, 2008
 Klik Permanent Link Alfiyah Ibnu Malik :
http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=16&book=214
 Kitab Alfiyah Ibnu Malik, cukup terkenal dan sangat disegani oleh kalangan santri senior. Berisi kaidah-kaidah lanjutan dan tinggi dalam fan ilmu nahwu dan sharaf. Hafalannya tidak kurang dari 1000 bet.
 91 Komentar |  Ilmu Nahwu / Sharaf (Alat), Nahwu, Shorof |  Permalink
 Ditulis oleh iqbal1
________________________________________
Ilmu Ma-ani dan Bayyan / Ilmu Alat : Kitab Uqudz-dzuzzuman
Desember 24, 2008
 Kitab Uqudz-dzuzzuman : Mempelajari tentang kaidah Ilmu Ma-ani dan Ilmu Bayyan. Ilmu lanjutan dalam fan ilmu-ilmu alat.
Klik PDF :
1-dzuman-ftoon
2-uqudz-dzuzzuman
 Tinggalkan sebuah Komentar » |  Ilmu Nahwu / Sharaf (Alat), Nahwu, Shorof |  Permalink
 Ditulis oleh iqbal1
________________________________________
Ilmu Sharaf : Kitab Ilmu Tashrif
Desember 24, 2008

Kitab Ilmu Sharaf untuk mempelajari perubahan2 bentuk kalimat sehingga berubah arti, akibat pengaruh perubahan waktu ; akan/sedang atau telah, pelaku, objek penderita, tempat/alat atau zaman.
Asal 3 huruf, 4, 5 atau 6. Ada penambah atau tidak. Beraturan atau tidak beraturan.
Ilmu Sharaf, dikenal pula sebagai Ibunya Ilmu, sebagaimana dawuhan sebagian ulama ; “Ash-shorfu ummul ‘uluum, wan nahwu abuuha” (Imu sharaf adalah ibu berbagai ilmu, adapun Nahwu adalah bapaknya).
Semua ilmu yang lahir akan diatur berdasarkan kaidah ilmu sharaf. Saking pentingnya memahami ilmu ini, sehingga boleh dikatakan tidak wajib diturut pendapat agama dari orang yang tidak mengerti ilmu ini.


Tidak ada komentar: